Ekspresi Cinta

"cinta sejati hanya ada setelah pernikahan..." ini adalah kata-kata fachri, tokoh utama pada novel ayat-ayat cinta yang mempunyai sosok nyaris sempurna, kata-kata ini adalah jawaban ketika Nurul meminangnya, ya, Fachri dipinang, tidakkah cukup menunjukkan bahwa ia adalah sosok laki-laki yang begitu ideal?

Namun Nurul terlambat, Aisyah telah meminangnya lebih dahulu, walaupun Nurul dimata Fachri adalah pelangi terindah diantara pelangi-pelangi lain.  Seperti kata Salim A Fillah dalam bukunya 'saksikan bahwa aku seorang muslim', menurutnya, "satu2nya kelemahan novel ayat-ayat cinta adalah tidak adanya kelemahan pada tokoh utamanya", dan saya pun berpendapat sama, dan saking sempurnanya, empat wanita pun berharap kepadanya, berharap menjadi bunga yang paling harum disisinya. Sampai akhirnya harus mereka yang meminta kepada Fachri.

Ups... malah jadi... terkesan menyalahkan bang El-Shirazy.

Tapi... apapun itu, novel ini telah berhasil memesonakan semua kalangan, bahkan teman saya yang ga’ suka novel, jadi ikutan baca, keren bang(sok akrab gitu)

Mm...saya tertarik dengan 'teorema'-nya Salim A Fillah, kurang lebih saya tafsirkan seperti ini "cinta adalah ketika ia berbuah keikhlasan dan perbaikan diri hari demi hari".

Ikhlas ketika ternyata bukan nama kita yang tertulis dalam kitab akhiratnya, ikhlas bahwa ternyata bukan kita yang menemani perjuangannya, tetapi ketika itu kita akan selalu memperbaiki kualitas diri sehingga selalu yakin akan digantikan oleh sang Maha Pemberi Terbaik dengan yang lebih baik, bahkan jauh lebih baik.

“…Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui” (Al Baqarah 216)

Mungkin ayat ini juga mengingatkan kita untuk tidak sok tahu, “pokonya dia ikhwan yang paling keren deh”, “duh ko biodatanya gini doang, ga kaya dia”, “lebih tua lima tahun? nti ga nyambung lagi diskusinya”, “ih, ikhwan sekarang ko nyarinya yang cantik-cantik sih”, mm… saya jadi ingat dengan dua sahabat saya yang baru menikah, ah, begitu besar hati mereka…, barakallahu laka…, semoga menjadi keluarga-keluarga unggulan^_^

Ikhlas, ikhlas menerima segala kelebihan dan kekurangan dia ketika kita memang ditakdirkan berjuang bersama,  sehingga senantiasa mempunyai keinginan kuat untuk saling memperbaiki kualitas diri satu sama lain, berbagi kafa’ah, selalu berkeinginan untuk membuat dia lebih baik, dan saling melengkapi. Karena…

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka”

(Al Baqarah 187)
 

Tidak semudah yang dikatakan memang, tetapi cinta selalu bisa diupayakan kan

Kalau kita bicara kecenderungan, menurut saya sama saja, bahkan bisa saya katakan kecenderungan seorang ikhwan atau akhwat adalah nama lain cinta, tetapi tentu mempunyai kelas yang lebih tinggi, cintanya bukan lagi hawa nafsu atau romantis-romantisan semata, tetapi ianya seringkali berhulukan simpati atas keshalihan, kemuliaan akhlaq, dan kesamaan visi dakwah, yang ingin dilabuhkan pada ikatan suci, pernikahan.

Dan ketika kecenderungan hadir, ia pun harus berbuah keikhlasan dan perbaikan diri hari demi hari. Mungkin untuk seorang ikhwan, kecenderungan tidak begitu masalah, karena ikhwan lebih punya kekuatan untuk segera untuk melabuhkan kecenderungannya, tetapi bisa menjadi masalah untuk akhwat karena akhwat fitrahnya menunggu, akan mempunyai seribu pertimbangan untuk melakukan tindakan seberani Nurul. Dan kecenderungan yang tidak sehat pun bisa tercipta. Tidak ada yang menginginkan kecenderungan itu menjadi tidak sehat, maka kecenderungan pun diupayakan berbuah keikhlasan dan perbaikan diri hari demi hari. Tetapi bukan maksud saya saling menasehati dalam keshalihan –berkirim tausiah, kaset nasyid, dsb- dalam arti memberi perhatian khusus pada sebuah nama, bukan. Karena pengkhususan adalah pemfokusan jaring pesona yang berbahaya. 

Bagaimana dengan ikhlas, ya, ikhlas ketika kita tidak seberuntung Fatimah yang bersuamikan Ali yang tidak lain adalah sang “cenderung hati Fatimah”, ikhlas ketika kisah Nurul dengan Fachri terulang dalam cerita kehidupan nyata kita. 

Mm.. Saya jadi teringat waktu perpisahan SMA, waktu itu teman saya, akhwat, menangis melihat teman saya, laki-laki yang dicenderungkan, sedang bernasyid dipanggung dengan tim nasyid SMA, kenapa? Beliau menangis karena si laki-laki telah menjadi “ikhwan”, karena sebelumnya bukan “ikhwan”, sehingga kekaguman itu bertambah, dan beliau takut dengan perasaan ini, takut akan mengacaukan hatinya.

Memang, cinta seorang wanita mukmin berbeda, ketika cinta atau cenderung itu hadir, bukannya malah ingin selalu dekat, tetapi justru inginnya menghindar dan menjaga jarak, berusaha mencari kejelekan-kejelekan laki-laki itu, sehingga rasa cenderung itu tidak semakin menguat, karena ia sadar rasa cenderung itu belum saatnya harus hadir, karena ia takut rasa cenderung itu akan mengarah kepada kemaksiatan.

Di iringi segumam do’a, “hilangkan bayangannya ya Rabb…” 

Seperti kata bang Salim, cinta yang sehat mendidikkan kecerdasan, kematangan emosi, ketenangan hati, dan kedewasaan berpikir. Ia mengajarkan kesabaran menahan syahwat, atau membingkainya dalam ikatan suci yang diridhai, insyaAllah.

Bahwa kita memang harus lebih banyak belajar tentang hakikat hidup, keikhlasan, cinta, agar tidak menjadi bagian dari “yang berjatuhan” karenanya.





 

Biarkan cinta berekspresi menjadi keshalihan, keikhlasan,

dan perbaikan diri hari demi hari


 

Untuk Lia Hulaipeh, uuh… ko pialanya kerumah anti dulu sih, he3, katanya pas tesis S2 n maunya yang ammah, eh belon kelar kuliah S1 dah ngeduluin, sama pak ketu Hizb lg,

doain kita cepet nyusul ye…

Kita sayang banget ma anti…

Semoga menjadi keluarga unggulan dan melahirkan mujahid-mujahidah tangguh^_^

291207

“untuk ia yang selalu rindu syahid, ajari aku selalu cinta berjuang, nanti…”

Comments