Generasi
Ini kisah tentang anak-anak aktivis da’wah. Sore itu, mereka tampak lincah, bermain penuh gairah, dan tertawa-tawa dalam canda yang sangat renyah. Tetapi sebentar.
“Kasihan deh Ummi sama Abiku itu…”
“Kenapa Dik?”
Ya, kenapa. Karena mereka menyeksamai Abi dan Umminya. Dengan penyeksamaan seorang anak yang sederhana. Namun jernih. Namun murni.
Benar. Mereka melihat orangtuanya adalah aktivis da’wah. Mereka melihat setiap hari Abi dan Umminya mengemban amanah mulia kesana kemari. Sesekali mereka terajak untuk melihat Abi dan Umminya mengisi ta’lim, menghadiri syuraa’, terlibat dalam pelayanan social, mendirikan lembaga, mengelola pendidikan Islam, dan seterusnya.
Tetapi mereka juga melihat hal yang lain. Bahwa habisnya waktu ayah bundanya dalam aktivitas bernama da’wah itu ‘membahayakan’ posisi hubungan mereka; anak dan orangtua. Bahwa dalam pandangan mereka, ayah bundanya, sebenarnya memiliki unsure terpaksa, sekecil apapun terasa dari tutur kata, mimic wajah, sikap, bahkan sorot mata. Mereka menemukannya dalam sambutan kepada mereka yang seolah berbunyi, “Nak, ummi dah capek. Jangan nakal ya… Nanti Ummi bias stress!”
Ya Allah… tidak mudah ternyata menjadi orangtua. Setidaknya, tidak semudah menyusun kalimat dalam visi pernikahan kita itu, “Menjadikan rumah tanggasebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam”. Tiba-tiba saja berdenging telinga kita oleh firman Allah yang mengetuk-ngetuk di rangkaian ayat institusi keluarga.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar ” (An-Nisaa’ : 9)
Tentu saja bukan da’wahnya yang bermasalah sehinga menjadikan kacaunya sebuah keluarga yang seharusnya menjadi pilar masyarakat Islam.
Da’wah Keluarga sebagai Bagian Terpenting Da’wah
Apa yang bias kita katakana pada seorang kader da’wah yang dikenal berkontribusi besar dikampus, diorganisasinya, atau di ranah profesinya, tetapi lalu menagis perih dan menyerah pada tekanan ketika dia menikah hingga pernikahannya dipenuhi nilai-nilai jahili? Dia punya idealismeyang tak bertemu dengan adapt mistik keluarganya. Benar. Syukurlah jika ia telah berupaya. Tetapi ada satu hal besar yang harus kita evaluasi, jangan-jangan hal itu karena da’wah keluarga telah kita letakkan di nomor sekian prioritas. Atau tak terpikir?
Baiklah jika kemudian kita punya tekad untuk mendirikan sebuah rumahtangga muslim yang subur bagi semaian nilai kebaikan. Semoga memang benar-benar ada upaya. Bukan saling menggantungkan. Seperti suami yang berkata, “Ah, isteri saya
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari apai neraka…” (At-Tahrim:6)
Meninggalkan suatu acara diluar
Agar mereka –anak-anak kita- menjawab saat ditanya tentang cita-cita,
“Pokoknya pengin kayak Abi sama Ummi!”
SKM, Desember 2007
(dari buku “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”)
Comments
Post a Comment